Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SIMALUNGUN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2020/PN Sim FERDINAN SIANIPAR 1.POLRES SIMALUNGUN
2.Kejaksaan simalungun
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 21 Apr. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2020/PN Sim
Tanggal Surat Kamis, 16 Apr. 2020
Nomor Surat No.2/SK .PID/LBH S-S/IV/2020
Pemohon
NoNama
1FERDINAN SIANIPAR
Termohon
NoNama
1POLRES SIMALUNGUN
2Kejaksaan simalungun
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

BAHWA BAIK TERHADAP PENANGKAPAN DAN PENAHANAN TERHADAP PEMOHON TIDAK DIDASARKAN KEPADA BUKTI-BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP

 

Bahwa ketentuan pasal 17 KUHAP menyatakan: “Perintah penangkapan dilakukan seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti pemulaan yang cukup.”   Lebih lanjut penjelasan pasal 17 KUHAP menyatakan: “yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 14. Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.” Pasal 1 butir 14 menyatakan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

 

Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam pemeriksaan Pemohon terbukti bahwa Termohon yaitu pihak Polsek Dolok Panribuan tidak memiliki alat bukti yang sah sesuai ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, karena hanya dengan 1 (satu) buah Handphone Merk OPPO warna hitam milik Ibu Pemohon;

 

Bahwa 1 (satu) buah Handphone Merk OPPO milik Ibu Pemohon sama sekali tidak dapat dijadikan petunjuk atas telah terjadinya sebuah tindak pidana yang disangkakan pada diri Pemohon, yang mana Handphone merk OPPO tersebut adalah milik ROSBINA SIAHAAN (orang tua perempuan) Pemohon;

 

Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon ditangkap oleh Termohon saat sedang duduk di warung kopi milik orang tuanya, yang mana Termohon datang ke rumah PEMOHON dan langsung menanyakan “siapa pemilik kedai (warung) ini” ? yang dijawab oleh PEMOHON “Saya” , setelah menanyakan hal tersebut , Termohon langsung melakukan penangkapan terhadap PEMOHON , menggeledah warung dan melakukan penyitaan terhadap Handphone orang tua perempuan (IBU) Pemohon yang berada di warung tersebut;

 

Bahwa Pemohon saat dilakukan penangkapan oleh Termohon tidak sedang melakukan perbuatan apapun yang berbentuk Perjudian sebagaimana yang disangkakan dalam diri Pemohon dan Pemohon langsung ditahan di Polsek Dolok Panribuan berdasarkan Surat Perintah Penahanan dengan Nomor SP/Han/03/11/2020/Reskrim tertanggal 09 Februari 2020 dan Surat Perpanjangan Penahanan Nomor : T-28/L.2.24/Eku.1/02/2020 tertanggal 29 Februari 2020 yang diterima Pemohon untuk pertama kali dari Termohon dan kedua kali yang diberikan oleh Turut Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai TERSANGKA dan Surat dari Polres Simalungun tertanggal 24 Maret 2020 Nomor.K/17/III/2020 tentang Permintaan untuk memperpanjang waktu penahanan yang di buat oleh Termohon;

 

Bahwa Penangkapan dalam diri Pemohon tidak memenuhi bukti permulaan yang cukup  untuk ditetapkan sebagai Tersangka, melainkan Pemohon langsung ditahan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penahanan dengan Nomor SP/Han/03/11/2020/Reskrim tertanggal 09 Februari 2020 yang diterima keluarga Pemohon, sehingga Pemohon tidak dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya langsung ditangkap dan ditahan sejak tanggal 08 Februari 2020;

 

Bahwa apabila merujuk pada Pasal 17 KUHAPidana beserta penjelasannya, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan apa saja bukti permulaan yang cukup itu. Namun kemudian, dalam putusannya bernomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, angka 17, dan Pasal 21 ayat 1 KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP;

 

Bahwa Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah :

Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan terdakwa;

 

Bahwa dengan demikian jelas tindakan Termohon yang menangkap dan menahan Pemohon dengan atau tanpa bukti permulaan yang sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14, merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus di BATALKAN tentang PENETAPAN TERSANGKA terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A quo;
Bahwa baik terhadap penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon tidak didasarkan kepada bukti-bukti permulaan yang cukup, hal mana telah melanggar pasal 17 jo pasal 21 ayat (1) KUHAP;

 

TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

 

Bahwa Termohon dalam menetapkan Tersangka terhadap diri Pemohon dalam dugaan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 Subs 303 bis KUHPidana oleh Kepala Kepolisian Sektor Dolok Panribuan hanya berdasarkan pada Handphone OPPO warna hitam milik Orang Tua Perempuan Pemohon yang sangat Pemohon ragukan kebenarannya, hal ini berdasar pada kenyataan di tempat Pemohon ditangkap, Pemohon hanya sedang duduk menjaga warung kopi milik orang tuanya dan sedang tidak melakukan apapun yang berbentuk perjudian seperti yang disangkakan oleh Termohon;

 

Bahwa berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai “minimal dua alat bukti” sesuai Pasal 184 KUHAP;

 

Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana secara Perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 Subs 303 bis KUHPidana oleh Kepala Kepolisian Sektor Dolok Panribuan. Hal ini dipertegas kepada pihak Kepolisian Sektor Dolok Panribuan tentang dugaan Perjudian sesuai dengan Laporan Polisi Nomor : LP/06/II/2020/SU/Simal/DOPAN, tanggal 06 Februari 2020 saat Pemohon ditangkap dan langsung ditahan hanya menerangkan praktek judi jenis tebakan angka TOGEL dan tidak ada peran apapun dilakukan oleh Pemohon di tempat kejadian perkara tersebut selain sedang duduk menjaga warung kopi milik orang tuanya karena diminta oleh Orang Tua Pemohon dan abang kandung Pemohon yang saat waktu kejadian sedang pergi menghadiri pesta keluarganya;

 

Bahwa tindakan yang dilakukan oleh Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara ini terlihat begitu “dipaksakan” karena Pemohon tidak mengetahui apa dan sebab kejadian yang sebenarnya Pemohon ditangkap sesuai dengan Laporan Polisi Nomor: LP/06/II/2020/SU/Simal/DOPAN, tanggal 06 Februari 2020 dan Pemohon tidak merasa pernah terlibat dalam bentuk Perjudian apapun;

 

Bahwa atas Laporan Polisi Pihak Kepolisian Sektor Dolok Panribuan tidak pernah melakukan proses Penyidikan dan Penyelidikan pada Pemohon sebagai saksi hingga sudah sampai pada tahap Perpanjangan Penahanan. Pemohon sudah dinyatakan sebagai Tersangka sejak ditangkap dan ditahan oleh Kepolisian Sektor Dolok Panribuan;

 

Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana Penyidik dengan kekuasaannya langsung menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tanpa pernah diberitahukan terlebih dahulu sebagai apa peran Pemohon atas Laporan Polisi yang dibuat terhadap diri Pemohon, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses Penyelidikan tentulah belum ada Penetapan Tersangka, kalaupun ada orang yang diduga Pelaku Tindak Pidana harus dilakukan Penyelidikan sesuai dengan Prosedur yang berlaku. Sedangkan Penetapan Tersangka, kalaupun ada orang yang diduga Pelaku Tindak Pidana harus dilakukan Penyelidikan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sedangkan Penetapan Tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses Penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses Penyidikan. Bukan langsung ditangkap dan ditahan serta ditetapkan jadi Tersangka. Hal itu sesuai dengan pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP;

 

Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 21/PUU-XII/2014 maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum.

 

PENANGKAPAN DAN PENAHANAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN AZAS KEPASTIAN HUKUM

 

Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innocence atau azas Praduga Tidak Bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu ke dalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam proses penegakan hukum , jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka Negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;

 

Bahwa upaya Penangkapan dan Penahanan sebagai Tersangka yang dilakukan oleh Termohon terhadap diri Pemohon jelas-jelas merupakan tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Termohon atas kekuasaan yang ada pada diri Termohon tanpa lebih dahulu melakukan alat bukti yang cukup sesuai dengan KUHAPidana dan terkesan terlalu dipaksakan perkara ini untuk menangkap dan menahan diri Pemohon sebagai Tersangka dalam tindak pidana Perjudian;

 

Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Karena kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum;

 

Bahwa dalam hukum administrasi Negara , Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan penyalahgunaan Wewenang. Yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi Negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau wewenang pejabat atau badan lain”,

 

Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan di atas, bahwa Penangkapan dan Penahanan sebagai Tersangka dalam diri Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku;

 

Sehingga apabila putusan dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A quo sebagaimana ditulis panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) UU No.34 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

 

Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) hurf a merupakan Keputusan yang tidak sah”;
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal dan atau dapat dibatalkan;

 

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menangkap dan menahan Pemohon sebagai Tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun yang memeriksa permohonan a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

 

PERMOHONAN

 

 

Berdasarkan seluruh uraian diatas, Pemohon dengan hormat kepada Ketua Pengadilan Negeri Simalungun cq. Hakim Pemeriksa Permohonan Praperadilan a quo untuk berkenan kiranya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

 

M E N G A D I L I :

 

Menyatakan menerima dan mengabulkan Permohonan Praperadilan untuk seluruhnya;

 

Menyatakan tidak sah Surat Perintah Penahanan Nomor : SP/Han/03/11/2020/Reskrim tertanggal 09 Februari 2020 yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon sebagai Tersangka Tindak Pidana Perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 Subs 303 bis KUHPidana oleh Kepala Kepolisian Sektor Dolok Panribuan adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penangkapan dan penahanan atas Pemohon dalam perkara a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

 

Menyatakan tidak sah Surat Perpanjangan Penahanan dari Kepala Kejaksaan Negeri Simalungun pada tanggal 27 Februari 2020 Nomor : T-28/L.2.24/EKU.1/02/2020;

 

Menyatakan tidak sah  segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon dan Turut Termohon berkenaan dengan Penangkapan dan Penahanan atas diri Pemohon sesuai dengan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP/Han/03/11/2020/Reskrim tertanggal 09 Februari 2020 dan Surat Perpanjangan Penahanan Nomor : T-28/L.2.24/EKU.1/02/2020 tertanggal 27 Februari 2020;

 

Mengembalikan Kedudukan, Harkat Dan Martabat Pemohon kepada semula;

 

Menetapkan biaya perkara dibebankan menurut ketentuan hukum yang berlaku;

 

Atau ,

Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Demikian  Permohonan Praperadilan disampaikan, atas perhatian dan perkenaan Ketua  Pengadilan  Negeri Simalungun Cq. Hakim Praperadilan Pemeriksa Permohonan  aquo  diucapkan  terima  kasih

Pihak Dipublikasikan Ya