Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SIMALUNGUN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2022/PN Sim Salamah KEPALA KEPOLISIAN RI Cq KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA Cq KEPALA KEPOLISIAN RESOR SIMALUNGUN Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 07 Apr. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2022/PN Sim
Tanggal Surat Kamis, 07 Apr. 2022
Nomor Surat 133/SK/2022
Pemohon
NoNama
1Salamah
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN RI Cq KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA Cq KEPALA KEPOLISIAN RESOR SIMALUNGUN
2KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA Cq KEPALAKEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA Cq KEPALA KEPOLISIAN RESORT SIMALUNGUN Cq KEPALA KESATUAN RESERSE KRIMINAL Simalungun
3KEPALA KEPOLISIAN RI Cq KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA Cq KEPALA KEPOLISIAN RESOR SIMALUNGUN Cq KEPALA KESATUAN RESERSE KRIMINAL RESOR SIMALUNGUN Cq KANIT RESKRIM KEPOLISIAN RESOR SIMALUNGUN
4KEPALA KEPOLISIAN RI Cq KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA Cq KEPALA KEPOLISIAN RESOR SIMALUNGUN Cq KEPALA KESATUAN RESERSE KRIMINAL RESOR SIMALUNGUN Cq KANIT RESKRIM KEPOLISIAN RESOR SIMALUNGUN Cq Penyidik Pembantu BRIPKA COW
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
  1. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

  1. Bahwa perlu untuk dipahami dan diketahui mengenai sejarah lahirnya lembaga Praperadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak azasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Yang mana Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui surat-surat perintah pengadilan menurut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum atau lebih tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak azasi manusia (HAM);

 

  1. Bahwa keberadaan lembaga Praperadilan, telah diatur secara tegas dalam Bab X Bagian kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian kesatu KUHAP, secara jelas dan tegas  dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan Horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang aparat penegak hukum (ic. Penyelidik/Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sesuka hati dan sewenang-wenang dengan maksud atau tujuan lain diluar dari yang sudah ditentukan secara tegas didalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini adalah Pemohon. Menurut Luhut M. Pangaribuan, menerangkan bahwa Lembaga Praperadilan yang terdapat didalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang mana pada dasarnya menjelaskan didalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang;

 

  1. Bahwa Lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/Penuntut Umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut setelah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum didalam melakukan penyidikan atau penuntutan;

 

  1. Bahwa dalam praktek Praperadilan, hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait  sah tidaknya  penetapan Tersangka, antara lain Putusan Praperadilan Komjen Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Nomor : 04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Selatan dan Putusan Praperadilan Nomor : 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, yang telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain “tidak sahnya menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka”, begitu juga telah terlegitimasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No : 21/PUU-XII/2014 ;

 

  1. Bahwa selanjutnya dan harus dipahami tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP dan perundang-undangan lainnya;

 

  1. Bahwa Mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai falsafah dan dasar negara, sebagaimana termaktub di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tercantum kata-kata “Bahwa Indonesia adalah negara hukum”, sehingga setiap warga negara baik rakyat biasa dan penegak hukum harus tunduk dan patuh terhadap hukum termasuk bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum juga seharusnya tunduk pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku yang dalam hal ini hukum formil ketika hendak menetapkan seseorang menjadi Tersangka;

 

  1. Bahwa di dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana termaktub pada pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”,  terkandung Asas Persamaan Kedudukan “equality before the law” dan asas “due process of law ”;

 

  1. Bahwa mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai falsafah dan dasar Negara pada Pasal 28 (I) ayat 4 dan ayat 5 juga terkandung Azas “State Responsibility” terhadap setiap warga Negara yang sedang berhadapan dengan hukum;

 

  1. Bahwa dengan demikian jika kita mengacu kepada ruh UUD 1945 dan asas fundamental KUHAP (perlindungan hak asasi manusia) Jo. Ketentuan Pasal 17 UU HAM Jo. Pasal 2 angka 3 huruf a dan ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU Kovenan Internasional, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang Aparatur Negara dalam Melaksanakan KUHAP melalui lembaga Praperadilan telah secara sah mengalami perluasan sistematis (de systematische interpretatie)  termasuk meliputi penggunaan wewenang penyidik yang bersifat mengurangi atau membatasi hak seseorang seperti diantaranya menetapkan seseorang sebagai Tersangka secara tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, sehingga tidak hanya terbatas pada pengujian wewenang yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP yaitu (a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

 

  1. TENTANG LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

 

 

  1. Bahwa Pemohon adalah Istri sah secara hukum dari Tersangka yang bernama Suwito lahir di Hutav Parit, 03 Juni 1976, jenis kelamin laki-laki, kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Wiraswasta, Agma Islam, Alamat Huta II Saparan, Nag. Huta Parik Kec. Ujung Padang, Kab. Simalungun dan sebelumnya Tersangka tidak pernah dikenai sanksi Pidana sepanjang hidupnya;

 

  1. Bahwa berawal dari adanya laporan warga yang bernama qiman yang meminta bantuan kepada Tersangka untuk ditemani ke kampung Pagar Besi dalam rangka Pertemuan di desa Pagar Besi terkait terjadinya percobaan pemerkosaan terhadap anak dari qiman yang bernama Selly yang diduga dilakukan oleh Katino;

 

  1. Bahwa adapun pertemuan tersebut dihadiri oleh keluarga Katino, Kepala RT, Kepala Dusun, Qiman, Selly, serta Tersangka hendak dilakukan perdamaian antara Pelaku dengan Korban namun perdamaian tersebut tidak tercapai karena suami dari korban masih berada di luar kota sehingga perdaimaian tersebut tertunda hingga suami dari korban tiba;

 

  1. Bahwa setelah satu bulan kemudian sekitar bulan April 2021 pada akhirnya keluarga daripada Katino mencoba menyambangi rumah Tersangka dan mengatakan kepada Tersangka memfasilitasi serta sebagai mediator dalam penyelesaian kepada keluarga Qiman dan atau Selly namun pada saat itu Tersangka mengatakan siap untuk membantu dengan catatan menunggu Suami korban atau Selly pulang dari luar kota dan selanjutnya pertemuan tersebut disampaikan Tersangka kepada keluarga Qiman;

 

  1. Bahwa selanjutnya singkat cerita terjadilah pertemuan antara Tersangka dengan keluarga Katino di salah satu warung tepatnya didepan kantor Kepala Desa Saor Matinggi pertemuan tersebut diahadiri oleh istri katino, anak-anak katino, Tersangka dimana pembicaraan tersebut bahwa Keluarga Qiman atau korban mau berdamai namun menunggu suami dari korban lalu keluarga katino mengatakan bermohon agar kiranya Tersangka mau membantu serta meminta tolong mengambilkan Surat Pernyataan Katino yang dibuat di Rumah RT atau pertemuan sebelumnya;

 

  1. Bahwa istri katino memberikan uang sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) kepada Tersangka dengan meletakkan ke atas meja warung sebagai pengganti ongkos ke medan untuk mengambil surat yang dimaksud padahal Tersangka sudah menawarkan bahwa ongkos ke medan hanya sekitar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) dan pemberian tersebut diberikan secara suka rela tidak ada dilakukan dengan pemerasan dan atau pengancaman;

 

  1. Bahwa beberapa hari setelah pertemuan tersebut Tersangka memfasilitasi keluarga Katino beserta keluarga Qiman dirumah Tersangka dan pertemuan perdamaian tersebut disepakati sebsar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) sebagai uang pengganti namun uang tersebut tidak terealisasi hingga sampai saat ini;

 

  1. Bahwa selanjutnya beberapa hari kemudian terdengar isu di masyarakat bahwa Perbuatan percobaan cabul tersebut direkayasa oleh korban (selly) sebab isu terdengar bahwa korban sendiri yang mencoba merayu katino sehingga terjadi dugaan percobaan pemerkosaan tersebut sehingga dangan adanya hal tersebut Korban (selly) merasa kecewa dan adanya pemberitaaan membalikan kejadian sebenarnya sehingga Selly membuat laporan kepolisian di Kepolisian Daerah Sumatera Utara dengan Nomor Lp. /642/IV/2021/SUMUT/SPKT “I” Tertanggal 01 April 2021;

 

  1. Bahwa tidak lama kemudian beberapa bulan kemudian Istri katino yang bernama Asmawati membuat laporan Kepolisian di Kepolisian Resor Simalungun dengan Laporan kepolisian nomor LP/B/315/V/2021/SPKT/POLRES SIAMLUNGUN/POLDA SUMUT tertanggal 11 Mei 2021 dugaan tindak pidana pemerasan atas nama terlapor SUWITO (Tersangka);   

 

  1. Bahwa dalam perjalanannya sekitar tanggal 22 Maret 2022 Rumah Pemohon dilakukan penggeledahan untuk menangkap suami Pemohon namun pada saat itu kebetulan Suamai Pemohon (Tersangka) berada diluar kota;;

 

  1. TENTANG PARA TERMOHON

 

 

  1. Bahwa Termohon I merupakan Pimpinan Tertinggi di Instansi Kepolisian Resor Kabupaten Simalungun sehingga patut dan pantas dijadikan sebagai Termohon, bahkan secara yuridis bertanggung jawab untuk mengawasi dan menindak jajaran yang ada dibawahnya;

 

  1. Bahwa sebagai perpanjangan tangan Termohon I, Termohon II selaku Penyidik juga bertanggung jawab atas tindakan bawahannya yang telah bekerja diluar prosedur hukum, sehingga secara hukum patut dijadikan Termohon dalam permohonan ini;

 

  1. Bahwa Termohon III merupakan Kanit/Penyidik Pembantu yang secara langsung dengan jabatan dan wewenangnya melakukan penyidikan, sehingga patut dijadikan Termohon dalam Permohonan ini;

 

  1. Bahwa Termohon IV merupakan Penyidik Pembantu yang secara langsung dengan jabatan dan wewenangnya melakukan penyidikan, sehingga patut dijadikan Termohon dalam Permohonan ini

 

 

  1. TENTANG BENTUK PELANGGARAN YANG DILAKUKAN PENYIDIK DAN ANALISIS YURIDIS SERTA PENDAPAT AHLI

 

 

  1. Bahwa berawal dari tindakan dari Termohon yang telah menerima Laporan Kepolisian dari Sdri. Asmawati dengan nomor LP/B/315/V/2021/SPKT/POLRES SIAMLUNGUN/POLDA SUMUT tertanggal 11 Mei 2021 dugaan tindak pidana pemerasan atas nama terlapor SUWITO (Tersangka) sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 368 ayat 1 dan pasal 369 ayat 1  KUHPidana;

 

  1. Bahwa selanjutnya Termohon II melakukan pemanggilan kepada Terlapor dengan surat undangan sebagaimana yang tertulis dalam Surat Undangan Nomor; B/884/VII/2021/Reskrim tertanggal 29 Juli 2021 yang ditandatangani oleh Termohon II dan Termohon IV melakukan pemeriksaan dan memintai keterangan Tersangka  sebagai saksi;

 

  1. Bahwa adapun pemeriksaan yang dilakukan Termohon IV kepada Tersangka adalah sebagai saksi dugaan melakukan tindak pidana pemerasan dan ancaman sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 368 ayat 1 dan pasal 369 ayat 1 atas nama pelapor Sdri. Asmawati;

 

  1. Bahwa selanjutnya Termohon IV melakukan konfrontir terhadap Pelapor dengan Tersangka dan beberapa saksi untuk mendalami dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Tersangka;

 

  1. Bahwa sekira pukul 22:00 Wib pada hari selasa tanggal 22 maret 2022 anggota Termohon II melakukan Penggebrekan atau Pengeledahan dirumah Tersangka yang pada saat itu dirumah hanya ada Pemohon dan anak-anak sementara Tersangka kebetulan berada di luar kota;

 

  1. Bahwa awalnya sebelum dilakukannya penggebrekan atau pengeledahan rumah Pemohon, Pemohon serta anak Pemohon mempertanyakan Surat Perintah Untuk memeriksa namun anggota Termohon II tidak ada sama sekali memperlihatkan atau menunjukan surat yang dimakud namun hanya mengatakan ini suratnya;

 

  1. Bahwa Penggrebekan atau Penggeledahan yang dilakukan Anggota Termohon II dirumah Pemohon adalah melanggar konstitusi sebab anggota Termohon II tidak memperlihatkan surat izin dilakukannya Penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat kepada Termohon sebagaimana yang diatur dalam pasal 33 ayat (1) KUHAP sehingga patut diduga Penggeledahan tersebut adalah Tindakan Ilegal apalagi dilakukan hampir tengah malam;

 

  1. Bahwa Suami Pemohon juga tidak pernah dipanggil untuk diperiksa dalam perkara aqu o sebagai Tersangka ujuk-ujuk sudah dilakukan Penggeledahan untuk menangkap suami Pemohon hal ini sangat tidak logis atau  perkara aqu o sangat dipaksakan;

 

  1. Bahwa selanjutnya Tim Kuasa Hukum dari Suami Pemohon mencoba mengkonfirmasi kepada Termohon IV terkait dengan adanya Penggeledahan dan status daripada Suami Pemohon dan ternyata hal tersebut benar dan status daripada Suami Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka dan pada akhirnya Tima Kuasa Hukum suami Pemohon meminta surat Penetapan tersebut sebagaimana dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor : SP.Status/911.B/II/2022/Reskrim tentang Peralihan status Terlapor tertanggal 7 Febuari 2022;

 

  1. Bahwa hal tersebut sangat disayangkan setalah diperhatikan bahwa Penetapan Suami Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana Pemerasan dan Ancaman dan atau Penipuan dan Penggelapan sebagaimana tertuang dalam Pasal 368 ayat 1 dan pasal 369 ayat 1 dan pasal 378 dan atau pasal 372 KUPidana padahal laporan kepolisian dari Sdri. Asmawati adalah masalah Pemerasan dan Ancaman bukan masalah Penipuan dan atau Penggelapan serta bahwa Suami Pemohon dipanggil dan diperiksa dalam perkara aqu o adalah sebagai saksi terkait tindak pidana Pemerasan dan Ancaman bukan Penipuan dan atau Penggelapan;

 

  1. Bahwa bila dilihat pasal yang ditudukan Para Termohon kepada suami Pemohon sangatlah tidak relevan dengan kondisi yang dialami oleh suami Pemohon karena pada pasal 368 KUHP yang berbunyi “barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan untuk memberikan sesuatu, yang seluruhnya atau sebagia adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapus piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan” pasal tersebut jelas unsur paling utama adalah 1. Bermaksud menguntungkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, 2.dengan cara melawan hukum, 3. Memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, membuat hutang, menghapus hutang,,. Maka bila dihubungkan dengan perbuatan Suami Pelapor sangat lah tidak relevan sebab suami pemohon tidak pernah memaksa kepada saksi pelapor justru secara sukarela memberikan uang tersebut dan lebih tidak logisnya Suami Pemohon hanya seorang diri saja dibandingkan dengan Pihak Saksi Pelapor yang pada di tempat kejadian perkara (TKP) ada sekitar 4 Orang dewasa dan ditempat umum sehingga tidaklah logis secara hukum Suami Pemohon melakukan memaksa dengan ancaman sama halnya dengan unsur pasal 369 ayat 1 KUHPidana dan pasal lainya yang dituduhkan Para Termohon pasal 372 KUHP dan atau 378 KUHPidana;

 

  1. Bahwa selanjutnya Penyidik dalam memanggil seseorang sebagai Tersangka dan menetapkannya sebagai Tersangka, Penyidik terlebih dahulu harus memahami ketentuan dari Pasal 5 ayat (1) huruf a yakni : Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang
    1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
    2. Mencari keterangan dan barang bukti;
    3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
    4. Mengadakan tindakan hukum yang bertanggung jawab;

maka menyebabkan penetapan Pemohon sebagai Tersangka menjadi kabur, tidak jelas dan semena-mena sehingga harus dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatalkan;

 

  1. Bahwa seharusnya Para Termohon melakukan serangkaian Penyelidikan dan Penyidikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHAP sebelum menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, yakni :
  • Pasal 1 angka 14 KUHAP berbunyi “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;
  • Pasal 1 angka 24 KUHAP menyatakan “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang atau pejabat yang berwenang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”;
  • Pasal 1 angka 27 KUHAP berbunyi “keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”;
  • Pasal 16 ayat (1) KUHAP berbunyi “untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan”;
  • Pasal 50 ayat (1) KUHAP berbunyi “tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum”. Ayat (2) “tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum”;
  • Pasal 109 ayat (1) KUHAP berbunyi“dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”;
  • Pasal 110 ayat (1) KUHAP berbunyi “dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan kepada penuntut umum”;
  • Pasal 112 ayat (2) KUHAP berbunyi“orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya’’;
  • Pasal 184 ayat (1) KUHAP berbunyi “alat bukti yang sah adalah a) keterangan saksi, b) keterangan ahli, c) surat, d) petunjuk, e) keterangan terdakwa”;

 

  1. Bahwa penetapan status Tersangka terhadap Suami Pemohon oleh Para Termohon dimaksud, adalah tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikan pula dengan Proses penyidikan terhadap Suami Pemohon serta tindakan-tindakan lainnya dalam penyidikan setelah adanya penetapan Tersangka terhadap diri Suami Pemohon adalah tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat apalagi adanya upaya penangkapan Suami Pemohon dengan cara Penggeledahan Rumah Pemohon tanpa pemanggilan Suami Pemohon sebagai tersangka untuk diperiksa;

 

  1. Bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam melaksanakan wewenang Para Termohon untuk menjalankan penyelidikan/Penyidikan (In casu, termasuk di dalamnya penggunaan wewenang penyidik dalam menetapkan Suami Pemohon sebagai Tersangka) oleh karenanya mutlak harus dilakukan berdasarkan asas fundamental yaitu Asas Kepastian Hukum;

 

  1. Bahwa Suami Pemohon dalam hal ini juga dilindungi oleh UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 ayat (2) “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”;

 

  1. Bahwa penetapan seseorang sebagai Tersangka in casu Pemohon, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi Pemohon untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui lembaga Praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu selain sesuai dengan spirit atau ruh atau jiwa KUHAP, juga sesuai dan dijamin dalam ketentuan pasal 17 Undang-undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang berbunyi :

“setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”;

 

  1. Bahwa asas kepastian hukum tersebut harus dijalankan dengan menjunjung tinggi prosedur yang telah digariskan didalam hukum acara. Hukum acara yang diatur dalam KUHAP juga berlaku bagi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan oleh Termohon. Dalam setiap proses pidana yang sebagaimana ditentukan oleh KUHAP haruslah didahului dengan adanya laporan atau aduan atau ada peristiwa pidana secara tertangkap tangan. Laporan/aduan atau peristiwa tertangkap tangan tersebut menjadi dasar untuk dapat dilakukannya penyelidikan dan penyelidikan tersebut menjadi dasar untuk dapat dilakukannya penyidikan. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan diartikan sebagai “serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukannya penyidikan”, sedangkan Penyidikan ditentukan dalam pasal 1 angka 2 KUHAP, yaitu “serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”;

 

  1. Bahwa dari pengertian yang telah ditentukan oleh KUHAP, maka untuk mencapai proses penentuan Tersangka, haruslah terlebih dahulu dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa  yang diduga sebagai tindak pidana (penyelidikan). Untuk itu, diperlukan keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan bukti-bukti awal yang dapat dijalin sebagai suatu rangkaian peristiwa sehingga dapat ditentukan ada tidaknya suatu peristiwa pidana. Setelah proses itu dilalui, maka dilakukan rangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti agar terang suatu tindak pidana yang terjadi. Untuk itu kembali lagi haruslah dilakukan tindakan –tindakan untuk meminta keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan pengumpulan bukti-bukti sehingga peristiwa pidana yang diduga sebelumnya telah menjadi jelas dan terang, dan oleh karenanya dapat ditentukan siapa Tersangkanya. Rangkaian prosedur tersebut merupakan cara atau prosedur hukum yang wajib ditempuh untuk mencapai proses penentuan Tersangka. Adanya prosedur tersebut dimaksudkan agar tindakan penyelidik/penyidik tidak sewenang-wenang mengingat seseorang mempunyai hak asasi yang harus dilindungi;

 

  1. Berdasarkan pendapat Guru Besar Hukum Pidana Indonesia, Eddy OS Hiariej, dalam bukunya yang berjudul Teori dan Hukum Pembuktian, untuk menetapkan seseorang sebagai TERSANGKA, Termohon II haruslah melakukannya berdasarkan bukti permulaan. Eddy OS Hiariej kemudian menjelaskan bahwa alat bukti yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP, apakah itu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa ataukah petunjuk. Eddy OS Hiariej berpendapat bahwa kata-kata “bukti permulaan” dalam pasal 1 butir 14 KUHAP, tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP, namun juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence. Selanjutnya untuk menakar bukti permulaan, tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada Tersangka. Pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. Dan dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetepan seseorang sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, maka setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dengan lainnya termasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal yang terakhir ini, dalam KUHAP tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada Tersangka, akan tetapi berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar.

 

Hal tersebut sangat terkait dengan ranah hukum pembuktian, oleh karenanya perlu dijelaskan lebih lanjut perihal pembuktian yang ditulis dalam buku Eddy OS Hiariej tersebut diatas, bahwa dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti dari persidangan perkara pidana, karena yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran materiil. Kendatipun demikian pembuktian dalam perkara pidana adalah dimulai sejak tahap penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidak nya dilakukan penyidikan. Pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindak penyidik mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya;

 

  1. Bahwa upaya hukum Praperadilan ini kami lakukan demi mencari kebenaran hukum, sebagaimana pendapat dari M. Yahya Harahap, bahwa salah satu upaya hukum Praperadilan adalah sebagai pengawas horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan. Dan sebagaimana pula pendapat Loebby Loqman, bahwa fungsi pengawasan horizontal terhadap proses pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan tersebut juga merupakan bagian dari kerangka sistem peradilan pidana terpadu. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pengawasan horizontal lembaga praperadilan tersebut adalah sesuai dengan tujuan umum dibentuknya KUHAP, yaitu untuk menciptakan suatu proses penegakan hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law. Due process of law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur essensial dalam penyelenggaraan peradilan yang intinya adalah bahwa ia merupakan “a law which hears befor it condemns, which proceeds upon inquiry, and renders judgement only after trial”. Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government. Oleh karena itu Praperadilan memiliki yang penting untuk meminimalisir penyimpangan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pelaksanaan proses penegakan hukum.

 

  1. Kita memahami bahwa penyidik merupakan pihak yang paling berwenang dalam tahap penyelidikan karena mempunyai tugas yang sangat penting pada proses penegakan hukum sehingga dapat mempengaruhi jalan, selanjutnya dari proses penyelesaian suatu perkara pidana oleh karenanya kami sangat berharap “sentuhan” Hakim yang mulia dalam putusannya  agar dapat menegakkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum Pemohon  dalam kasus a quo. Dimana dengan langkah ini kami yakin melaui upaya Praperadilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparancy), dan akuntabilitas publik yang merupakan syarat-syarat tegaknya Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dengan Praperadilan ini masyarakat juga dapat ikut mengontrol jalannya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim Praperadilan untuk memerdekakannya. Dengan demikian, keberadaan lembaga Praperadilan didalam KUHAP ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal, atau dengan kata lain, praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) terutama hak asasi Tersangka. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) adalah satu esensi pokok yang menjadi dasar legalitas suatu negara hukum. Hal inilah yang hendak dicapai  Pemohon melalui upaya hukum Praperadilan ini.  

 

 

MAKA :

 

Berdasarkan uraian dan dalil-dalil di atas, Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Simalungun untuk memanggil Para Termohon guna diperiksa dalam perkara ini serta menetapkan hari persidangan, dengan memberi putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

 

  1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

 

  1. Menyatakan Surat Penetapan Tersangka Nomor : SP.Status/911.B/II/2022/Reskrim tentang Peralihan status Terlapor tertanggal 7 Febuari 2022 menjadi Tersangka cacat yuridis/bertentangan dengan hukum/tidak sah;

 

  1. Menyatakan mengembalikan nama baik Suami Pemohon dalam kemampuan Rehabilitasi;

 

  1. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Para Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka terhadap diri Suami Pemohon;

 

  1. Menghukum Para Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara aquo.

   

ATAU :

Apabila Majelis Hakim Yang Mulia memeriksa dan memutus Permohonan Praperadilan ini berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequao et Bono).

   

Pihak Dipublikasikan Ya